Deteksi24.com – PEKANBARU – Ketua Umum Forum LSM Riau Bersatu mengapresiasi program rehabilitasi atau pemulihan kawasan hutan di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau yang kini rusak akibat perambahan liar.
“Tak hanya dirambah dan kayunya dijual, kawasan hutan lindung tersebut juga sudah dialihfungsikan sebagai kebun sawit oleh para cukong dan masyarakat. Karena itu, Selasa kemarin, Satgas PKH telah menyita kabun sawit yang berada dalam kawasan TNTN,” ujarnya.
Satgas juga memberikan tenggat waktu tiga bulan kepada para penggarap ilegal di kawasan TNTN untuk mengosongkan lahan yang kini telah menjadi perkebunan sawit.
Batas waktu relokasi mandiri ditetapkan mulai 22 Mei hingga 22 Agustus 2025. Kebijakan itu disampaikan langsung Kasum TNI, Letjen TNI Richard TH Tampubolon saat pemasangan plang penyegelan kawasan TNTN, Selasa (10/6/2025).
“Kita apresiasi tindakan tegas Satgas PKH, termasuk menyita kebun sawit yang berada dalam kawasan. Namun demikian, kita meminta pemerintah tetap memperhatikan nasib masyarakat yang sudah terlanjur menanam sawit di kawasan hutan tersebut,” kata Penasehat Forum LSM Riau Bersatu, Fajar Simanjuntak kepada wartawan, Kamis (12/6/2025) di Pekanbaru.
“Dikatakan Fajar, masyarakat jangan sampai jadi korban dan dirugikan. Meski tim Satgas PKH memberikan tenggat waktu 3 bulan kepada para petani sawit yang kebunnya disita untuk segera pindah dari TNTN secara mandiri, namun perlu juga difikirkan nasib mereka selanjutnya,” sebutnya.
“Selama ini, masyarakat karena ketidaktahuannya atau unsur pembiaran dari pihak tertentu atau oknum pemerintah, sehingga aktivitas berkebun masyarakat dalam kawasan TNTN dianggap sebagai kewajaran,” ujar Fajar.
Bila sekarang lahan yang menjadi tempat mereka menggantungkan hidup harus disita, tentu masyarakat petani sawit tersebut akan kehilangan sumber pendapatan dan pekerjaan. Ini perlu menjadi perhatian pemerintah,” tuturnya.
Disisi lain, Ketua Umum Forum LSM Riau Bersatu, Robert Hendrico, SH mengaku mendukung Perpres No 25 Tahun 2025 tentang penertiban kawasan hutan di Indonesia, termasuk di kawasan TNTN Riau.
“Sebab, kata Robert, apapun ceritanya hutan perlu dilestarikan demi kelestarian alam. Namun demikian, dalam bertindak pemerintah melalui Satgas PKH jangan tebang pilih. Jangan hanya kebun masyarakat petani saja yang disita, namun juga milik para cukong atau perusahaan yang tidak sesuai aturan juga harus disita,” pinta Robert.
“Ditambahkan, negara juga harus memberikan solusi cerdas dan bijak dalam menyelamatkan nasib masyarakat yang sudah terlanjur menggantungkan hidup disana selama puluhan tahun,” tegas Robert.
“Ada baiknya pemerintah memikirkan cara merelokasi masyarakat. Sehingga, saat mereka meninggalkan kawasan hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka sekarang, mereka bisa memulai kehidupan baru di tempat baru. Jadi mereka tidak kehilangan pekerjaan dan sumber pendapatan untuk kelangsungan hidupnya,” urai Robert.
Dikatakan, meski tindakan masyarakat membuat kebun sawit dalam kawasan hutan itu salah secara hukum, namun pemerintah juga harus memikirkan bagaimana kehidupan mereka kelak.
“Tindakan mereka memang salah secara hukum, namun ada baiknya pemerintah juga secara bijak mencarikan solusi dengan merelokasi mereka ke lokasi lain. Dengan demikian, kehidupan mereka bisa terus berlanjut dengan adanya tempat dan sumber pendapatan yang baru,” harapnya.
“Robert menambahkan, permasalahan TNTN ini mestinya bisa dicegah lebih awal mengingat ada regulasi atau Undang-undang yang mengatur. Misalnya UU nomor 41 tahun 1999 tentang kehutahan, Undang-undang No.39 tahun 2014 tentang perkebunan.
“Dua produk hukum itu hampir 20 tahun lebih tidak sesungguhnya dilakukan, dan diduga negara tutup mata atas semua kejahatan pada bidang kehutanan,” tegasnya.
Lalu muncul Undang-undang Cipta Kerja pada bidang perkebunan dalam kawasan hutan, negara memberi waktu 3 tahun untuk merapikan kebun dalam kawasan hutan, istilah keterlanjuran adalah sebenarnya bentuk perhatian negara atas kejahatan pada bidang perkebunan dalam kawasan hutan tapi hal itu tidak dilakukan.
Lalu berganti rezim dan bapak Prabowo Subianto presiden Republik Indonesia dengan mengeluarkan sebuah kebijakan yang sangat spektakuler yaitu Perpres nomor 5 tahun 2025 tentang Penertiban kawasan hutan, artinya tidak saja kebun sawit dalam hutan dirapikan tetapi tambang ilegal dalam kawasan juga akan ditindak tegas oleh Satgas PKH Merah Putih.
Tetapi perlu dicatat dalam kawasan hutan itu ada kehidupan masyarakat yang sudah lama bahkan berpuluh tahun mereka tinggal. “Jika TNTN atau kawasan hutan lainnya dirapikan tolong negara juga bijak dalam memperhatikan kehidupan masyarakat,” pungkasnya.
Kondisi Kritis
Sebagai informasi, TNTN merupakan hutan konservasi dengan tingkat kerusakan terparah di Indonesia. Keberadaan TNTN menjadi sorotan dunia ditengah kampanye pemerintah yang mengklaim peduli terhadap deforestasi hutan, namun di lapangan justru tak sesuai.
Dari total luasan TNTN sekitar 81.700 hektare lebih, seluas 40.400 hektare lebih sudah menjadi kebun sawit. Data terkini, luas hutan tersisa di TNTN hanya sekitar 13.700 hektare lebih.
Ini artinya, lebih 65.000 hektare lebih kawasan hutan di TNTN, terindikasi telah mengalami kerusakan.
Penggarapan secara ilegal dan massif TNTN dilakukan oleh individu maupun kelompok masyarakat, termasuk kaki tangan korporasi.
Hasil kebun sawit dari TNTN ditampung sejumlah pabrik kelapa sawit milik perusahaan besar, namun tidak pernah mendapat tindakan hukum.
Kini, kehancuran TNTN sudah masuk dalam kondisi kritis akibat alih fungsi menjadi kebun kelapa sawit secara ilegal dan sudah berlangsung belasan tahun.
Sekretaris Satgas PKH Sutikno menjelaskan, dari 81.793 hektare kawasan hutan TNTN, kini hanya tersisa sekitar 12.000 hektare saja.
Padahal, hutan itu milik negara, namun kini dikuasai dan digarap kelompok tertentu dan masyarakat.
“Selama ini, TNTN itukan dijarah orang-orang ataupun perusahaan tertentu. Dan itulah nanti yang akan kita kuasai kembali untuk dikembalikan ke negara,” ujar Sutikno, Senin (9/6/2025) di Jakarta.
“Menurut Sutikno, kawasan hutan di Tesso Nelo bukan cuma milik negara sebagai taman nasional, melainkan juga sebagai paru-paru dunia,” pungkasnya.(*)