DETEKSI24.com – JAKARTA – Di usia 94 tahun, Kartini masih harus berhadapan dengan meja hijau. Tanah peninggalan suaminya di Pekanbaru, Riau, yang diwariskan kepadanya, diduga dirampas oleh seorang pria bernama Arbain.
Bukan hanya sebidang tanah, sengketa ini menyeret nama-nama besar: Badan Pertanahan Nasional (BPN), hakim pengadilan, hingga dugaan mafia tanah yang sudah lama beroperasi di Riau.
Pengacara kondang Natalia Rusli dari Master Trust Law Firm akhirnya turun tangan. Ia menyebut kasus Kartini bukan sekadar perebutan tanah, melainkan cermin buram wajah hukum agraria Indonesia.
“Ini seorang nenek berusia hampir seabad yang dipaksa tinggal di gubuk reyot, padahal tanahnya sah secara waris. Saya siap perang melawan mafia tanah,” kata Natalia. Dilansir dari laman RIAUSATU.com, Jumat (19/9/2025).
Jejak Arbain dan Sertifikat 525
Nama Arbain tidak asing dalam pusaran kasus tanah di Pekanbaru. Pria yang tinggal di Sunter Agung, Jakarta Utara, ini kerap disebut dalam pemberitaan terkait sengketa lahan.
Kali ini, ia mengklaim memiliki sertifikat tanah bernomor 525/2004 yang diduga dikeluarkan BPN Pekanbaru.
Ironisnya, sertifikat asli tak pernah bisa diperlihatkan di persidangan. Meski begitu, hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menjadikan sertifikat tersebut sebagai dasar memenangkan Arbain.
“Inilah yang kami pertanyakan. Sertifikat yang tak pernah muncul bisa jadi alat mengalahkan rakyat kecil,” ujar Natalia.
Dokumen sengketa yang diperoleh Riau Satu memperlihatkan kejanggalan mencolok:
• Lokasi tanah yang diklaim Arbain berbeda alamat dengan objek sengketa.
• Luas tanah mencapai 27.836 meter persegi, jauh lebih besar dari lahan warisan Kartini yang hanya 16.000 meter persegi.
• Nilai jual beli hanya Rp6 juta untuk hampir 3 hektare tanah.
• Tanda tangan dalam akta jual beli diduga palsu.
• Pajak Bumi dan Bangunan selalu dibayar ahli waris, bukan Arbain.
Putusan yang Berbalik Cepat
Kartini sempat mencatat kemenangan telak di PN Jakarta Utara pada 2017.
Hakim menilai Arbain tidak bisa membuktikan kepemilikan sah atas SHM 525. Putusan itu dikuatkan hingga tingkat Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung.
Namun, dalam PK ke-2, situasi berbalik. Arbain kembali dimenangkan.
Prosesnya berlangsung cepat, “secepat kereta Shinkansen,” kata salah satu kuasa hukum Kartini.
Putusan yang mengabaikan bukti putusan sebelumnya menimbulkan dugaan kuat adanya intervensi.
Mafia Tanah dan Oknum Penegak Hukum
Kasus Kartini menyingkap praktik mafia tanah yang ditengarai mendapat dukungan oknum aparat dan pejabat. Natalia Rusli menuding ada jejaring kuat yang melindungi Arbain.
“Kalau memang punya sertifikat asli, tunjukkan. Jangan hanya berlindung di balik putusan cepat. Saya tantang Arbain dan siapa pun di belakangnya,” ujarnya.
Natalia berencana melaporkan kejanggalan perkara ini ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung.
Ia menilai hakim PN Pekanbaru mengabaikan putusan pengadilan lain yang lebih dulu berkekuatan hukum tetap.
Cermin Buram Penegakan Hukum Agraria
Dalam usia hampir seabad, Kartini harus bertahan hidup di rumah reyot, meski tanahnya sah secara waris. Sengketa ini menambah daftar panjang praktik mafia tanah di Indonesia, dari Jawa hingga Sumatera.
Natalia menyindir Arbain agar menghentikan ambisi merampas hak orang.
“Lebih baik gunakan usia untuk berbuat baik, bukan merampas hak orang miskin. Ingat, kita semua akan kembali ke tanah,” katanya.
Kasus ini memperlihatkan rapuhnya sistem hukum agraria Indonesia: sertifikat misterius yang tak pernah diperlihatkan bisa mengalahkan bukti kuat, rakyat kecil terus jadi korban, sementara mafia tanah kian leluasa bergerak.(*)